Selasa, 06 Januari 2009

Umat Islam Bersatulah

Alloh SWT berfirman dalam QS. Ali Imron 103 :














103. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.


Dalam ayat tersebut Alloh SWT menyuruh kita untuk bersatu ( tidak bercerai berai ) dalam memegang Agama Islam. Dalam QS. Ali Imron 105 Alloh SWT berfirman, yang artinya : " Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa ".

Pada saat ini perpecahan merupakan salah satu bentuk fitnah yang sedang melanda seluruh negeri lihatlah kenyataan yang terjadi saat ini : ketika negara Palestina dibombardir oleh " Laknatulloh " negara Israel, baru kita tersadar " KEMANA SAJAKAH RASA PERSAUDARAAN SESAMA MUSLIM ". Disaat kita tertidur nyenyak karena kekenyangan, mereka saudara kita kelaparan dan merintih kesakitan, sementara anak-anak menangis kehilangan masa bermain, kehilangan orangtua dan sanak saudara tercinta dan kehilangan masa depan. Semoga Alloh SWT memberikan kekuatan lahir dan bathin kepada mereka , serta doa kami semoga kaum muslimin di dunia bersatu untuk menumpas " Yahudi Si Pembuat Fitnah " di muka bumi ini. Amin yaa robbal `alamin . . . .


Pesan : Marilah kita berdoa agar persatuan umat Islam dapat mengalahkan kebatilan .


FIRQOTUN NAJIYAH

Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab
mengkaji ciri khas 70.000 manusia pilihan
" Dan orang-orang yang mereka itu tidak berbuat syirik (sedikit pun) kepada Tuhan mereka" (QS. Al-Mu’minun:59). Ada apa dengan mereka, bagaimana karakteristik dan keistimewaan mereka, simaklah untaian wacana berikut. Semoga Allah menggolongkan kita di antara mereka

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata (At-Tauhid bab:III) : Hushain bin Abdurrahman menuturkan : "Suatu ketika aku berada di sisi Sa’id bin Jubair, lalu ia bertanya.’ Siapakah diantara kalian yang melihat bintang yang jatuh semalam.?’Akupun menjawab : ‘Aku,’ Kemudian kataku: ‘ketahuilah, Sesungguhnya aku ketika itu tidak dalam keadaan shalat, tetapi terkena sengatan kalajengking.’ Ia bertanya : ‘ lalu apa yang kamu perbuat ?’ Jawabku : ‘ Aku meminta Ruqyah.’ Ia bertanya lagi : ‘ apakah yang mendorong dirimu untuk melakukan hal itu ?’ Jawabku : ‘ yaitu sebuah hadist yang diturunkan oleh Asy-Sya’bi kepada kami.’ ia bertanya lagi : ‘ Dan apakah hadist yang diturunkan kepadamu itu ?’ Kataku : ‘Dia menuturkan kepada kami hadist dari Buraidah bin Al- Hushaib : "Tidak dibenarkan melakukan Ruqyah kecuali karena ‘ain (pengaruh jahat dari mata seseorang) atau terkena sengatan." Sa’id pun berkata : ‘ Sungguh telah berbuat baik orang yang mengamalkan apa yang telah didengarnya, tetapi Ibnu’Abbas menuturkan kepada kami hadist dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

" Telah dipertunjukkan kepadaku ummat-ummat. Aku melihat seorang Nabi,bersamanya beberapa orang; dan seorang Nabi, bersamanya satu dan dua orang, serta seorang Nabi, dan tak seorangpun bersamanya. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku satu jumlah yang banyak; Akupun mengira bahwa mereka adalah ummatku, tetapi dikatakan kepadaku: ‘Ini adalah Musa bersama kaumnya. Lalu tiba-tiba Aku melihat lagi satu jumlah besar pula, maka dikatakan kepadaku: ‘Ini adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 orang yang mereka itu masuk surga tanpa hisab dan tanpa ‘adzab.’Kemudian bangkitlah beliau dan segera memasuki rumahnya. Maka para sahabat membicarakan tentang siapakah mereka itu. Ada diantara mereka (para sahabat) yang berkata: ‘Mungkin saja mereka itu yang menjadi sahabat Rasulullah.’ Ada lagi yang berkata: ‘Mungkin saja mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam, sehingga mereka tidak pernah berbuat Syirik sedikitpun kepada Allah.’ Dan mereka menyebutkan lagi beberapa perkara yang lain. Ketika Rasulullah keluar mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda: "Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta Ruqyah, tidak meminta supaya lukanya ditempel dengan besi yang dipanaskan, tidak melakukan Tathayyur dan merekapun bertawakkal kepada tuhan mereka." Lalu berdirilah ‘Ukasyah bin Mihshan dan berkata: ‘Mohonkanlah kepada Allah agar Aku termasuk golongan mereka (yang 70.000).’ Beliau bersabda : "Kamu termasuk golongan mereka".’ Kemudian berdirilah seorang yang lain dan berkata: ‘Mohonkanlah kepada Allah agar aku juga termasuk golongan mereka.’ Beliau menjawab: "Kamu sudah kedahuluan ‘Ukasyah." (HR. Bukhari).

Dari riwayat tersebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menarik kesimpulan tentang pengertian mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya. Ada banyak faidah yang dapat dipetik dari hadist diatas. Beberapa yang terpenting diantaranya menjelaskan keutamaan bertauhid kepada Allah dengan menjalankan konsekwensi di antaranya yaitu tidak meminta diruqyah dan menjauhi tathayyur.

Apa yang dimaksud dengan ruqyah ??

Ar-ruqa adalah jama’ dari Ruqbatun artinya mantera atau jampi-jampi yang di gunakan untuk mengobati orang yang terkena musibah , misalnya orang terkena penyakit panas, kemasukan jin atau musibah lainnya.

Ruqyah juga di sebut azimah, terdiri atas dua macam: Yang bebas dari unsur syirik dan yang tidak lepas dari unsur syirik.

Pertama, ruqyah yang bebas dari unsur syirik.

Yaitu dengan membacakan kepada si sakit sebagian ayat-ayat Al-Qur’an atau di mohonkan perlindungan untuknya dengan Asma’ dan Sifat Allah. Hal ini di bolehkan karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah me-ruqyah (menjampi) dan beliau memerintahkan untuk me-ruqyah serta membolehkannya.

Dari Auf bin Malik ia berkata: " Kami di-ruqyah ketika masa jahiliyah , lalu kami tanyakan, "Wahai Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bagaimana pendapat baginda tentang hal itu?" Maka beliau bersabda:

"Perlihatkanlah ruqyah kalian kepadaku, tidak mengapa ruqyah selama tidak mengandung syirik."(HR. Muslim)

As-Suyuthi berkata: "Para ulama sepakat tentang di bolehkannya ruqyah bila memenuhi tiga syarat. Pertama, hendaknya dilakukan dengan kalamullah (Al-Qur’an) atau dengan Asma’ dan SifatNya. Kedua, Hendaknya dengan bahasa arab dan diketahui maknanya . ketiga, hendaknya di yakini bahwa ruqyah itu tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan takdir Allah Ta’ala. Caranya, hendaknya di bacakan kemudian di hembuskan kepada si sakit atau dibacakan di air kemudian air itu di minumkan kepada si sakit, sebagaimana disebutkan dalam hadis Tsabit bin Qais:

"Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tanah dari bathan lalu di letakkannya di gelas kemudian beliau menyemburkan air padanya dan menuangkannya di atasnya."(HR. Abu Daud. lih. At-Tauhid III oleh Syaikh Shalih Fauzan)

Kedua, ruqyah yang tidak lepas dari unsur syirik

Ruqyah jenis ini di dalamnya terdapat permohonan pertolongan kepada selain Allah yaitu dengan berdo’a kepada selain Allah, meminta pertolongan dan berlindung kepadanya, misalnya me-ruqyah dengan nama-nama jin, atau nama-nama malaikat para nabi dan orang-orang shalih. Hal ini termasuk berdo’a kepada selain Allah, dan ia adalah syirik besar. termasuk ruqyah jenis ini adalah dilakukan dengan selain bahasa arab atau yang tidak dipahami maknanya, sebab di takutkan kemasukan unsur kekufuran atau kesyirikan sedang ia tidak mengetahuinya. Ruqyah jenis ini adalah ruqyah yang dilarang.

Tidak meminta diruqyah adalah lebih utama berdasarkan hadist Ibnu ‘Abbas diatas sebagai wujud tauhid seorang hamba kepada Allah dengan bertawakkal kepadaNya. Namun hendaknya seorang mu’min berusaha mencari kesembuhan dengan cara yang disyari’atkan kemudian bertawakkal.

Bagaimana dengan Tathayyur ?

Tiyarah atau tathayyur adalah merasa akan mendapat kesialan karena sesuatu yang dianggap sebagai pertanda, misalnya, seseorang ditengah jalan melihat ular atau kucing menyebrang, lalu ia menyimpulkan akan menemui kesialan sehingga ia tidak meneruskan perjalanannya.

Pada masa dahulu, jika hendak bepergian, orang-orang jahiliyyah menggertak burung peliharaannya dan melihat reaksinya. Jika burung itu terbang keatas atau kekanan, mereka menduga akan mendapatkan kebaikan sehingga mereka melaksanakan rencananya. Namun jika burung itu terbang kekiri atau kebawah, mereka menduga akan menemui kesialan, sehingga merekapun membatalkan rencananya. Tentang sikap seperti itu Allah berfirman : " Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah" (QS.Al-A’raaf: 131). Rasulullah bersabda : " Tidak ada penularan penyakit (tanpa izin Allah), tidak ada penentuan nasib dengan burung (dan sebagainya, tiyarah), tidak ada burung hantu (pembawa sial), dan tidak ada bulan Safar (pembawa na’as)." (HR. Bukhari-Muslim). Berkata Ibnu Mas’ud : " Tiadalah diantara kami kecuali mempunyai perasaan akan mendapatkan sial itu, melainkan Allah menghilangkannya dengan tawakkal"

Bagaimana dengan Tamimah ??

At-Tamamim adalah jama’ dari?? Tamimatun ?? yaitu sesuatu yang di kalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal dari penyakit ‘ain?(kena mata) dan terkadang di kalungkan juga pada leher orang-orang yang dewasa dan wanita.

Tamimah ada dua macam yaitu: Tamimah dari Al-Qur’an dan tamimah selain dari Al-Qur’an.

Pertama, tamimah dari Al-Qur’an .

Yakni dengan menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an , atau Asma’ dan Sifat Allah kemudian di kalungkan dileher untuk memohon kesembuhan dengan perantaraannya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengalungkan tamimah jenis ini dalam dua pendapat:

Pendapat pertama, ia dibolehkan. Ini adalah pendapat sekelompok sahabat, di antaranya Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash. Ini pulalah makna tekstual apa yang di riwayatkan ‘Aisyah rhadhiyallahu’anha. Pendapat ini juga di kemukakan oleh Abu Ja’far Al-Baqir dan Ahmad bin Hambal, menurut salah satu riwayat dari beliau. Mereka mengkhususkan hadist yang melarang mengalungkan tamimah pada tamimah yang di dalamnya terdapat syirik.

Pendapat kedua, ia di larang. Pendapat ini juga di kemukakan oleh sekelompok sahabat, di antaranya Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas rhadhiyallahu’anhum. Ini pulalah pendapat hudzaifah, Uqbah bin Amir dan Ibnu Ukaim, sekelompok tabi’in yang menguatkan pendapat ini, di antaranya para sahabat Ibnu Mas’ud dan Ahmad dalam suatu riwayat yang kemudian di pilih oleh sebagian besar pengikutnya dari para ulama muta’akhirin memastikan pendapat ini dengan mendasarkan pada riwayat Ibnu Mas’ud rhadhiallahu’anhum ia berkata:

"Aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah (pellet) adala syirik’."(HR. Ahmad, lihat derajatnya dalam fathul majid)

Pendapat kedua adalah pendapat yang benar karena tiga alasan:

1. Keumuman hadist Nabi shallallahu’alahi wa sallam, serta tak ada dalil yang mengkhususkannya.

2. Untuk tindakan prefentif, karena hal itu menyebabkan di kalungkannya sesuatu yang tidak di bolehkan.

3. Bahwasanya jika ia mengalungkan sesuatu dari ayat Al-Qur’an maka hal itu menyebabkan pemakainya menghinakannya, misalnya dengan membawanya waktu buang hajat, istinja’ atau yang lainnya.

Kedua, tamimah selain dari Al-Qur’an.

Tamimah jenis ini biasanya di kalungkan pada leher seseorang, seperti tulang, rumah kerang,benang, sandal, paku, nama-nama setan dan jin serta jimat. Tak di ragukan lagi bahwa ini di haramkan sebab menggantungkan sesuatu kepada selain Allah, Asma’, Sifat dan ayat-ayatNya.

Kewajiban setiap muslim adalah menjaga aqidahnya dari sesuatu yang akan merusaknya atau mengurangi kesempurnaannya. Karena itu hendaknya ia tidak mengkonsumsi obat-obatan yang tidak di perbolehkan, tidak pergi kepada orang-orang yang sesat dan tukang sulap untuk mengobati penyakit-penyakit mereka, sebab justru mereka itu yang menyebabkan sakitnya hati dan aqidahnya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya cukuplah baginya. Sebagian orang ada yang menggantungkan berbagai hal tersebut pada dirinya , sementara ia tidak dalam keadaan sakit. Ia hanya sakit ilusi yakni ketakutan terhadap orang yang iri atau dengki. Atau ia menggantungkan hal tersebut di mobil , kendaraan, pintu rumah atau di tokonya.

Semua ini bukti kelemahan aqidah serta tawakal kepada Allah. Sungguh kelemahan aqidah itu adalah sakit yang sebenarnya dan wajib di obati dengan mengetahui tauhid dan aqidah yang benar.Bersegeralah menjadi bagian dari 70.000 manusia terbaik dengan TAUHID dan menjauhi sekecil apapun SYIRIK.

Wallahu a'lam


--------------------------------------------------------------------------------


Untuk pertanyaan, saran dan kritikan silakan hubungi dihyah@plasa.com.

19 Perkara yang merusak amal

1. Kufur, Syirik, Murtad, dan Nifaq.

Wahai orang Muslim, wahai hamba Allah! Ketahuilah, siapa yang mati dalam keadaan kafir atau musyrik atau murtad, maka segala amal yang baik tidak ada manfaatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti shadaqah, silaturrahim, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lainnya. Sebab di antara syarat taqarrub adalah mengetahui siapa yang didekati. Sementara itu orang kafir tidak begitu. Maka secara spontan amalnya menjadi rusak dan sia-sia.

Allah berfirman: "Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya" [Al-Baqarah: 217].

"Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia pada akhirat termasuk orang-orang yang merugi." [Al-Maidah: 5].

"Dan sesunggunya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi’." [Az-Zumar: 65].

Allah juga berfirman, mengabarkan tentang keadaan semua rasul: "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya leyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." [Al-An’am: 88].

Dan juga sabda Rasulullah saw: "Apabila orang-orang mengumpulan orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian untuk satu hari dan tiada keraguan di dalamnya, maka ada penyeru yang berseru: ‘Barangsiapa telah menyekutukan seseorang dalam suatu amalan yang mestinya dikerjakan karena Allah, lalu dia minta pahala di sisi-Nya, maka sesungguhnya Allah adalah yang paling tidak membutuhkan untuk dipersekutukan’." [HR. At-Tirmidzi 3154, Ibnu Majah 4203, Ahmad 4/215, Ibnu Hibban 7301, hasan].

2. Riya’.

Celaan terhadap riya’ telah disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah: "... seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu sperti batu yang licin dan diatasnya ada tanah, kemudian batu itu mejadilah bersih (tidak bertanah). Mereka itu tidak menguasai sesuatu sesuatu apapun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir." [ Al-Baqarah: 264].

Rasullullah saw bersabda: "Sesungguhnya yang aku paling takutkan atas kamu sekalian ialah syirik kecil, yaitu riya’. Allah berfirman pada hari kiamat, tatkala memberikan balasan terhadap amal-amal manusia, ‘Pergilah kepada orang-orang yang dulu kamu berbuat riya’ di dunia, lalu lihatlah apakah kamu mendapatkan balasan bagi mereka?" [HR. Ahmad 5/428, 429, shahih].

Maka dari itu jauhilah riya’, karena ia merupakan bencana amat jahat, yang bisa menggugurkan amal dan menjadikannya sia-sia. Ketahuilah, bahwa orang-orang yang riya’ adalah pertama kali menjadi santapan neraka, karena mereka telah menikmati hasil perbuatannya di dunia, sehingga tidak ada yang menyisa di akhirat.

Ya Allah, sucikanlah hati kami dari nifaq dan amal kami yang riya’ teguhkanlah kami pada jalan-Mu yang lurus, agar datang keyakinan kepada kami.

3. Menyebut-Nyebut Shadaqah dan Menyakiti Orang Yang Diberi.

Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman jangalah kamu menghilangkan (pahala) shadaqahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)." [Al-Baqarah: 264].

Ketahuilah wahai hamba Allah! Jika engkau menshadaqahkan harta karena mengharap balasa dari orang yang engkau beri, maka engkau tidak adakn mendapatkan keridhaan Allah. Begitu pula jika engkau menshadaqahkannya karena terpaksa dan menyebut-nyebut pemberianmu kepada orang lain.

Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir." [HR. Ibnu Abi Ashim 323, Ath-Thabrany 7547, hasan].

Abu Bakar Al-Warraq berkata, "Kebaikan yang paling baik, pada setiap waktu adalah perbuatan yang tidak dilanjuti dengan menyebut-nyebutnya."

Allah berfirman: "Perkataan baik dan pemberian maaf lebih baik dari shadaqah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." [Al-Baqarah: 263].

4. Mendustakan Takdir.

Ketahuilah wahai orang Mukmin, iman seorang hamba tidak dianggap sah kecuali dia beriman kepada takdir Allah, baik maupun buruk. Dia juga harus tahu bahwa bencana yang menimpanya bukan unutk menyalahkannya, dan apa yang membuatnya salah bukan untuk menimpakan bencana kepadanya. Semua ketentuan sudah ditetapkan dan ditulis di Mushhaf yang hanya dikethaui Allah semata, sebelum suatu peristiwa benar-benar terjadi dan sebelum Dia menciptakan alam.

Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir."

Dan sabda beliau yang lain: "Andaikata Allah mengadzab semua penhuni langit dan bumi-Nya, maka Dia tidak zhalim terhadap mereka. Dan, andaikata Allah merahmati mereka, maka rahmat-Nya itu lebih baik bagi mereka dari amal-amal mereka. Andaikata engkau membelanjakan emas seperti gunung Uhud di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerima amalmu sehingga engkau beriman kepada takdir, dan engkau tahu bahwa bencana yang menimpamu, dan apa yang membuatmu salah bukan untuk menimpakan bencana kepadamu. Andaikata engkau mati tidak seperti ini, maka engkau akan masuk neraka." [HR. Abu Daud 4699, Ibnu Majah 77, Ahmad 5/183, 185, 189, shahih].

5. Meninggalkan Shalat Ashar.

Allah memperingatkan manusia agar tidak meninggalkan shalatul-wustha (shalat ashar) karena dilalaikan harta, keluarga atau keduniaan. Allah mengkhususkan bagi pelakunya dengan ancaman keras, khususnya shalat ashar. Firman-Nya: "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang yang lalai dari shalatnya." [Al-Ma’un: 4-5].

Rasulullah saw bersabda: "Orang tidak mengerjakan shalat ashar, seakan-akan dia ditinggalkan sendirian oleh keluarga dan hartanya." [HR. Al-Bukhari 2/30, Muslim 626]

Dari Abu Al-Malih, atau Amir bin Usamah bin Umair Al-Hadzaly, dia berkata, "Kami bersama Buraidah dalam suatu perperangan pada suatu hari yang mendung. Lalu ia berkata, ‘Segeralah melaksanakan shalat ashar, karena Nabi saw pernah berkata: "Barangsiapa meninggalkan shalat ashar, maka amalnya telah lenyap." [HR. Al-Bukhari 2/31, 66].

6. Bersumpah Bahwa Allah Tidak Mengampuni Seseorang

Dari Jundab ra sesungguhnya Rasulullah saw mengisahkan tentang seorang laki-laki yang berkata, "Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni Fulan. Padahal Allah telah berfirman, ‘Siapa yang bersumpah kepada-Ku, bahwa aku tidak mengampuni Fulan, maka aku mengampuni Fulan itu dan menyia-nyiakan amalnya (orang yang bersumpah)." [HR. Muslim 16/174].

Ketahuilah, bahwa memutuskan manusia dari rahmat Allah merupakan sebab bertambahnya kedurhakaan orang yang durhaka. Karena dia merasa yakin, pintu rahmat Ilahi sudah ditutup di hadapannya, sehingga dia semakin menyimpang jauh dan durhaka, hanya karena dia hendak memuaskan nafsunya. Allah akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak diberikan kepada orang lain.

Bukanlah sudah selayaknya jika Allah menghapus pahala amal orang yang menutup pintu kebaikan dan membuka pintu keburukan, sebagai balasan yang setimpal baginya?

7. Mempersulit Rasulullah, dengan Perkataan maupun Perbuatan.

Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lainm supaya tidak menghapus (pahala) amalanmu, sedang kamu tidak menyadarinya." [Al-Hujurat: 2].

Dari Anas bin Malik ra, tatkala ayat ini turun maka Tsabit bin Qais di rumahnya, seraya berkata, "Pahala amalku telah terhapus, dan aku termasuk penghuni neraka." Dia juga menghidari Nabi saw. Lalu beliau bertanya kepada Sa’d bin Mu’adz, "Wahai Abu Amr, mengapa Tsabit mengeluh?"

Sa’d menjawab, "Dia sedang menyendiri dan saya tidak tahu kalau dia sedang mengeluh."

Lalu Sa’d mendatangi Tsabit dan mengabarkan apa yang dikatakan Rasulullah. Maka Tsabit berkata, "Ayat ini telah turun, sedang engkau sekalian tahu bahwa aku adalah orang yang paling keras suaranya di hadapan Rasulullah. Berarti aku termasuk penghuni neraka."

Sa’d menyampaikan hal ini kepada beliau, lalu beliau berkata, "Bahwa dia termauk penghuni surga." [HR. Al-Bukhari 6/260, Muslim 2/133-134].

Dengan hadits ini jelaslah bahwa mengeraskan suara yang dapat menghapus pahala amal adalah suara yang menggangu Rasulullah, menentang perintah beliau, tidak taat dan tidak mengikuti beliau, baik perkataan maupun perbuatan.

Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu." [Muhammad: 33].

8. Melakukan Bid’ah Dalam Agama.

Melakukan bid’ah akan mengugurkan amal dan menghapus pahala. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang menciptakan sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang tidak termasuk bagian darinya, maka ia tertolak."

Dalam riwayat lain disebutkan: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak termasuk agama kami, maka ia tertolak." [HR. Al-Bukhari 5/301, Muslim 12/16].

9. Melanggar Hal-Hal Yang Diharamkan Allah Secara Sembunyi-Sembunyi.

Dari Tsauban ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: "Benar-benar akan kuberitahukan tentang orang-orang dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa beberapa kebaikan seperti gunung Tihamah yang berwarna putih, lalu Allah menjadikan kebaikan-kebaikan itu sebagai debu yang berhamburan". Tsauban berkata, "Wahai Rasulullah, sebutkan sifat-sifat mereka kepada kami dan jelaskan kepada kami, agar kami tidak termasuk diantara mereka, sedang kami tidak mengetahuiny". Beliau bersabda: "Sesungguhnya mereka itu juga saudara dan dari jenismu. Mereka shalat malam seperti yang kamu kerjakan. Hanya saja mereka adalah orang-orang yang apabila berada sendirian dengan hal-hal yang diharamkan Allah maka, mereka melanggarnya." [HR. Ibnu Majah 4245, shahih].

10. Merasa Gembira Jika Ada Orang Mukmin Terbunuh.

Darah orang Muslim itu dilindungi. Maka seseorang tidak boleh menumpahkan darahnya menurut hak Islam.

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa membunuh seorang Mukmin lalu ia merasa senag terhadap pembunuhannya itu, maka Allah tidak akan menerima ibadah yang wajib dan yang sunat darinya." [HR. Abu Daud 4270, shahih].

11. Menetap Bersama Orang-Orang Musyrik Di Wilayah Perperangan.

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: "Aku berkata, ‘wahai Nabi Allah, aku tidak pernah mendatangimu sehingga aku menjalin persahabatan lebih banyak dari jumlah jari-jari tangan? Apakah sekarang aku tidak boleh mendatangimu dan mendatangi agamamu? Sesungguhnya aku dulu adalah orang yang tidak pernah melalaikan sesuatu pun kecuali apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya kepadaku, dan sesungguhnya aku ingin bertanya atas ridha Allah, dengan apa Rabb-mu mengutusmu kepada kami?"

Beliau menjawab, "Dengan Islam."

"Apakah tanda-tanda Islam itu?", Dia bertanya.

Beliau menjawab, "Hendaklah engkau mengucapkan: ‘Aku berserah diri kepada Allah’, hendaklah engkau bergantung kepada-Nya, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Setiap orang Muslim atas orang Muslim lainnya adalah haram (menyakiti), keduanya adalah saudara dan saling menolong. Allah tidak akan menerima suatu amalan dari orang Muslim setelah dia masuk Islam, sehingga dia meninggalkan orang-orang kafir untuk bergabung dengan orang-orang Muslim." [HR. An-Nasa’i 5/82-83, Ibnu Majah 2536, Ahmad 5/4-5, hasan].

12. Mendatangi Dukun dan Peramal.

Beliau saw mengancam orang-orang yang mendatangi dukun dan sejenisnya, lalu meminta sesuatu kepadanya, bahwa shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari. Beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya tentang sesuatu kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari." [HR. Muslim 14/227].

Ancaman ini diperuntukkan bagi orang yang mendatangi dukun dan menanyakan sesuatu kepadanya. Sedangkan orang yang membenarkannya, maka dia dianggap sebagai orang yang mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad saw." [HR. Muslim 135, Abu Daud 3904, Ahmad 2/408-476].

13. Durhaka Kepada Kedua Orang Tua.

Allah telah memerintahkan agar berbuat baik kepada ibu bapak dan berbakti kepada keduanya. Dia memperingatkan, mendurhakai keduanya dan mengingkari kelebihan keduanya dalam pendidikan merupakan dosa besar dan melenyapkan pahala amal. Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang, Allah tidak menerima ibadah yang wajib dan yang sunat dari mereka, yaitu orang yang durhaka kepada orang tua, menyebut-nyebut shadaqah dan mendustakan takdir."

14. Meminum Khamr.

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa meminum khamr, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat, maka Allah mengampuninya. Jika dia mengulanginya lagi, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Dan, jika mengulanginya keempat kalinya, maka shalatnya tidak diterima (lagi) selama empat puluh pagi (hari). Jika dia bertaubat maka Allah tidak mengampuninya dan Dia mengguyurnya dengan air sungai al-khabal." Ada yang bertanya, "Wahai Abu Abdurrahman (Nabi), apakah sungai al-khabal itu?" Beliau menjawab, "Air sungai dari nanah para penghuni neraka." [HR. At-Tirmidzi 1862, shahih].

15. Perkataan Dusta dan Palsu.

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pelaksaannya, maka Allah tidak mempunyai kebutuhan untuk meninggalkan makanan dan minumannya." [HR. Al-Bukhari 4/16, 10/473].

Di dalam hadits ini terkandung dalil perkataan palsu dan pengamalannya dapat meleyapkan pahala puasa.

16. Memelihara Anjing, Kecuali Anjing Pelacak, Penunggu Tanaman atau Berburu.

Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa memelihara seekor anjing, maka pahala amalnya dikurangi setiap hari satu qirath (dalam riwayat lain: dua qirath) kecuali anjang untuk menjaga tanaman atau pun anjing pelacak." [HR. Al-Bukhari 6/360, Muslim 10, 240].

17. Wanita Yang Nusyuz, Hingga Kembali Menaati Suaminya.

Rasulullah saw bersabda: "Dua orang yang shalatnya tidak melebihi kepalanya, yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya hingga kembali lagi kepadanya dan wanita yang mendurhakai suaminya hingga kembali lagi."

18. Orang Yang Menjadi Imam Suatu Kaum dan Mereka Benci Kepadanya.

Rasulullah saw bersabda: "Tiga orang yang shalatnya tidak melebihi telinga mereka, yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya sehingga dia kembali yaitu hamba sahaya yang lari dari tuannya sehingga dia kembali, wanita yang semalaman suaminya dalam keadaan marah kepadanya, dan imam suatu kaum, sedang mereka benci kepadanya." [HR. At-Tirmidzi 360, shahih].

Ada kisah yang dinukil dari Manshur, dia berkata: "Kami pernah bertanya tentang masalah imam. Maka ada yang menjawab, "Yang dimaksud hadits ini adalah imam yang zhalim. Sedangkan imam yang menegakkan Sunnah, maka dosanya kembali kepada orang-orang yang membencinya."

19. Orang Muslim Mejauhi Saudaranya Sesama Muslim Tanpa Alasan Yang Dibenarkan Syariat.

Dari Abu Hurairah ra, seungguhnya Rasulullah saw bersabda: "Pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, lalu setiap hamba yang tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah akan diampuni, kecuali seseorang yang antara dirinya dan saudaranya terdapat permusuhan. Lalu dikatakan: ‘Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai. Lihatlah dua orang ini hingga keduanya berdamai." [HR. Muslim 16/122, 123].

(Salim Al-Hilaly)

Untuk pertanyaan, saran dan kritikan silakan hubungi dihyah@plasa.com.

ITTIBA`

ITTIBA' DAN TAQLID
Pengertian Ittiba’

Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal.101-102).

Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : "Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).

Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw, seperti Firman-Nya: "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab:21)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : "Ayat ini merupakan azas pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah saw dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya…"(Tafsir Ibnu Katsir, 3/475). Sedangkan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits Al-Hujjatun bi Nafsihi pada hal.35 menyatakan : "Ayat ini memberi pengertian bahwa Rasulullah saw adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama…"

Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.

Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah eadalah dengan mempelajari sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).

Dan cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah seperti :

"Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. " (An-Nisa’:80)

"Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga…" (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang lainnya.

Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab "Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya." (An-Najm:4)

Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah :

"Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim, 1718).

Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah I, akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi emenutup jalan bagi orang yang suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : "Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku".(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau.

Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Ralullah saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar diterimanya amal seseorang. Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang disepakati oleh para ulama, ada dua: Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah. Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.



Pengertian Taqlid

Taqlid dari segi bahasa berarti membuat ikatan di leher. Diambil dari kata qaladah, yaitu sesuatu yang digunakan orang untuk mengikat yang lainnya. (Al-‘Aqa’id hal. 91). Adapun secara istilah, taqlid bermakna mengambil madzhab dari seseorang atau beramal dengan ucapan-ucapan orang itu tanpa dalil dan hujjah. Abu Abdillah bin Khuwaizi Mandad menyatakan : "Setiap orang yang engkau ikut tanpa dalil dan hujjah maka engkau adalah muqallidnya". (Al-‘Alamul Muwaqqi’in hal.137). Dengan demikian jika kita mengikuti pendapat seseorang, padahal pendapatnya itu tidak berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman gene-rasi shahabat, maka kita adalah muqallidnya.

Hukum bertaqlid

1. Pendapat yang membolehkan taqlid kepada salah satu imam madzhab. Pendapat ini dipegang banyak oleh orang-orang yang fanatik terhadap madzhab.

2. Pendapat yang secara mutlak melarang taqlid, seperti diantaranya pendapat Iman As-Syaukani dan Ibnu Khuwazi Mandad.

3. Taqlid dengan syarat. Yaitu taqlid yang diperbolehkan, seperti taqlid orang bodoh kepada ‘alim yang terpercaya; serta taqlid yang dilarang, seperti taqlid seseorang kepada ‘alim tanpa hujjah (dalil). Pendapat ini adalah pendapat jumhur para ulama.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkomentar tentang kebolehan seorang awam bertaqlid kepada ‘alim yang terpercaya :"Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan taqlid. Karena Allah tidak membebani suatu jiwa pun kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan kadang-kadang seorang ‘alim pun terpaksa harus taqlid dalam beberapa permasalahan yaitu ketika dia tidak mendapatkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dia mendapatkan ucapan orang yang lebih ‘alim dari dirinya. Maka keadaan itu dia pun terpaksa taqlid kepadanya. Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam beberapa permasalahan."

Para muqallid madzhab berpendapat yang sebenarnya pendapat mereka itu bukan pada tempatnya. Di antara pendapat mereka adalah: "Tidak seorang pun yang dapat memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengamalkannya kecuali hanya para imam madzhab saja. Sedangkan mereka sudah memenuhi syarat begini dan begitu!! Bahwa merekalah yang lebih memenuhi syarat untuk pekerjaan itu, serta tidak ada satu manusia pun bisa melakukannya setelah mereka." Begitu perkataan mereka.

Bantahan ucapan mereka itu adalah firman Allah : "Dan sesungguhnya kami telah mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran?" (Al-Qamar 17,22,32 dan 40).

"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran." (Shaad : 29)

Kedua ayat ini membantah pemahaman bahwa Al-Qur’an itu dilarang dipelajari oleh sembarang orang. Bahkan kepada orang munafiq atau kafir pun Allah perintahkan untuk mempelajari Al-Qur’an itu, seperti Firman-Nya dalam surat Muhammad : 24.

Para muqallid madzhab juga berpendapat bahwa : "Tidak boleh taqlid kepada selain empat madzhab, sekali pun tidak sesuai dengan ayat Al-Qur’an dan Sunnah, tidak pula kepada aqwal (pendapat) sahabat, karena orang yang keluar dari madzhab yang empat adalah sesat dan menyesatkan. Juga karena mengambil arti zhahir nash Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk pokok-pokok kekufuran."

Ucapan mereka ini bukan saja syubhat tetapi kebathilan bahkan kejahilan yang amat jahil. Al-‘Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi dalam kitabnya Al-Aqalid hal.24-25 menyata-kan: "Lihatlah wahai saudara-saudaraku. Alangkah keji dan bathilnya perkataan mereka. Boleh meyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijma’ Shahabat asal jangan keluar dari empat madzhab. Ini adalah kedustaan besar!!" Ada pun ucapan mereka bahwa ‘Sesungguhnya mengambil zhahir Al-Qur’an termasuk pokok-pokok kekufuran.’ Juga merupakan kebathilan yang sangat keji dan besar."

Justru yang tidak mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah berarti telah kufur. Seperti Firman Allah:

"Ta’atlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), barangsiapa yang berpaling (dari keduanya) maka sesung-guhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir." (Al-Imran : 32)

Padahal Allah telah membenarkan untuk mengikuti petunjuk (ijma’) shahabat seperti Firman-Nya:

"Generasi pertama (Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan benar Allah RIDHO kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah…" (At-Taubah:100).

Atau perkataan mereka bahwa melarang mengambil arti Al-Quran dan Sunnah yang tersurat karena termasuk-masuk pokok-pokok kekufuran. Lihatlah bagaimama Firman Allah membantah mereka :

"Dia (Allah) yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepadamu di dalam terdapat ayat-ayat YANG JELAS, sebagian besar isi Al-Qur’an itu(demikian)…" (Al-Imran:7)"

Perhatikan para muqallid, Allah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu mudah dipelajari, dan mudah dimengerti. Lalu mereka melarang orang-orang mempelajari Al-Qur’an dengan pengerti-an tekstual bisa kufur. Masya Allah! Sama saja artinya mereka menggiring orang untuk menjauhi Al-Qur’an. Maka jelaslah kedustaan mereka yang mereka ada-adakaan. Sementara Rasulullah epernah bersabda bahwa : "Sesungguhnya agama ini mudah, tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan" (HR. Bukhari).

Perhatikan, agama ini bukan teka-teki. Jika Al-Qur’an itu sulit bagi manusia maka tidak ada gunanya ia diturunkan. Dan tidak ada gunanya pula kita diperintahkan untuk mempelajarinya sebagai Hudal linnas (petunjuk bagi manusia).

Dan para muqallid itu berdalil dengan firman Allah :"…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya."(Al-Anbiya’:7).

Mereka memakai istidlal (pengambilan dalil) bukan pada tempatnya. Karena ayat itu tidak menunjukkan taqlid buta. Yang dimaksud ahlu dzikr pada ayat adalah orang yang mengerti tentang wahyu yang turun. Diperintahkan bertanya kepada mereka agar diberi fatwa dengan ketentuan wahyu. Karena Al-Qur’an dan Sunnah pada hakekatnya adalah wahyu dari Allah, maka jika seseorang menjelaskan dengan kedua wahyu tersebut, sehingga bila kita mengikuti penjelasan seseorang dengan Al-Qur’an dan Sunnah bukan taqlid lagi namanya tetapi ittiba’.

Begitulah para muqallid membela-bela pendirian mereka. Bahkan banyak lagi ayat-ayat dan As-Sunnah yang mereka gunakan supaya terkesan "benar" di mata orang-orang yang sama jahilnya dengan mereka. Sampai-sampai seorang ulama besar seperti Ibnul Qayyim Al-Jaujiyyah rahimahullah membantah mereka dalam kitabnya Al-Muwaqqi’in, juz II hal.140-198 dengan hujjah kepada para muqallid madzhab sampai beliau menyebutnya lebih dari 80 segi.



Komentar para Imam Madzhab tentang Taqlid:



1. Imam Hanafi (Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit)

"Apabila hadits itu shahih maka itu adalah madzhabku" (Perkatan beliau ini dapat dilihat pada kitab Al-Hasyiyah karya Ibnu Abidin Juz 1/63, juga dalam risalah Rasmul Mufti Juz 1/4.)

"Tidaklah dihalalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataanku, selagi ia tidak tahu dari mana aku mengambilnya." (Ibnu Abdilbar dalam kitab Al-intiqa’u fi Fadha-ilist Tsalatsatil ‘A-immatil Fuqaha’i p.145, dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 2/309 dan Ibnu Abidin dalam Al-Hasyiyah).

Dalam riwayat lain dikatakan : "Adalah haram bagi orang yang tidak megetahui alasanku untuk berfatwa dengan perkataanku.". Atau riwayat lain lagi : "Sesungguhnya kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di esok hari."

Beliau berkata kepada Abu Yusuf : "Kasihan engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf) jangan engkau tulis setiap apa yang dari padaku. Karena kadangkala aku memang berpendapat dengan suatu pendapat pada hari ini, dan kadang kala aku berpendapat lain pada esok lusa, bahkan aku meninggalkannya pada esok lusa." (Al-Mizan 1/6. Abu Hanifah adalah seorang ulama yang sering menetapkan sesuatu hukum dengan qiyas kepada suatu ketentuan yang belum ditemukannya pada Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. Para pengikut hanafi penghafal hadits yang sering melakukan perjalan jauh dari negeri-negeri dan pelabuhan-pelabuhan setelah berhasil mendapatkan hadits, niscaya Imam Hanafi mengambilnya dari mereka dan membuang qiyas yang pernah ia fatwakan.)

"Jika aku mengatakan suatu perkataan yang bertentangan dengan Kitabullah atau khabar Rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku." (Al-Fulani dalam Al-Iqazh p.50 yang diasalkan oleh Imam Muhammad ).



2. Imam Malik bin Anas. Beliau berkata :

"Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah, ambillah dan setiap perkataanku yang menyimpang dengan Al-Kitab dan Sunnah, tinggalkanlah." (Ibnul Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/32, dan Ibnu Hizam dalam Ushulul Ahkam, 6/149 dan demikian pula Al-Fulani, p.72)

"Tidak ada seorang pun setelah Nabi saw kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi saw."( Ibnul Hadi dalam Irsyadus Salik, 227/1, Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/91, dan Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam, 6/145 dan 179 dari perkataan Al-Hakam bin Uthaibah dan Mujahid. Taqiyuddin mengeluarkan dalam Al-Fatawa 1/48)



3. Imam Syafi’i. (Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i). Inilah nasihat beliau tentang taqlid : Setiap pendapatku yang menyalahi hadits Nabi saw. maka hadits Nabi saw itulah yang wajib diikuti, dan janganlah kalian taqlid kepadaku." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Atsakir 15/10/1)

"Apabila kalian dapati di dalam kitabku, pendapat-pendapat menyalahi Sunnah Rasulullah saw., peganglah Sunnnah Rasulullah saw dan tinggalkan pendapatku." Dalam riwayat lain beliau berkata : "Ikutilah Sunnah Rasulullah saw. dan janganlah kalian menoleh kepada pendapat siapapun". (Riwayat al-Harawi, Abu Nu’aim fil Hilyah / lihat Shifat Shalat Nabi hal.28 Lil-Albani).

"Setiap masalah yang sudah shahih haditsnya dari Rasulullah menurut para ulama hadits, tetapi pendapatku menyalahi hadits yang shahih, maka aku ruju’ dari pendapatku dan aku ikut hadits Nabi saw yang shahih baik ketika aku masih hidup maupun sesudah wafatku." (Al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in, 2/363).

"Kaum muslimin sudah sepakat bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal meninggal-kannya karena taqlid kepada pendapat seseorang." (Ibnul Qayyim 2/361 dan Al-Fulani p.68)

"Apabila hadits itu shahih, maka dia adalah madzhabku." (An-Nawawi dalam Al-Majmu’, Asy-sya’rani, 10/57, Al-Fulani, p.100)



4. Imam Ahmad bin Hambal. Adalah salah seorang dari Imam madzhab yang paling banyak jasanya dalam mengumpulkan Sunnah. Perhatikan pula apa perkataan beliau tentang taqlid :

"Janganlah kalian taqlid padaku dan jangan pula kalian taqlid kepada Imam Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil." (Ibnul Fulani, 113, dan Ibnul Qayyim dalam kitab Al-I’lam 2/302).

"Pendapat Auza’i, pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan bagiku adalah sama, sedangkan alasan hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar." (Ibnul Abdilbar dalam Al-Jami’, 2/149).

"Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah maka sungguh ia telah berada di tepi kehancuran." (Ibnul Jauzy p.182).

Amat jelas perkataan mereka, dan amat jelas kedustaan yang dibuat oleh para muqallid yang membolehkan taqlid buta kepada salah seorang dari mereka. Perhatikanlah, kesemua Imam-imam itu tidak ingin ditaqlidi. Semua mereka menyarankan agar kembali kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Tidak dibenarkan orang-orang yang mengikuti mereka mengambil pendapat mereka tanpa dalil. Dikarenakan keempat imam madzhab itu, memiliki dalil-dalil, dan diantara dalil-dalil itu terdapat dalil yang shahih dan ada pula yang lemah, maka ambillah pendapat mereka yang lebih rajih dan shahih, dengan tidak membedakan satu imam dengan lainnya. Jika hujjah mereka berasal dari atsar yang shahih maka wajib kita membenarkan dan memegang pendapat tersebut. Tidak dibenarkan seseorang mengambil fatwa-fatwa hanya dari salah seorang mereka kemudian membenci pendapat Imam yang lain. Atau seseorang mengambil fatwa dari ulama-ulama sementara dia tidak mengetahui hujjah atau dalil dari ulama tersebut. Yang benar adalah kita cocokkan setiap pendapat yang kita terima dari Imam-imam Ahlussunnah baik dari empat Imam Madzhab atau pun dari imam-imam yang lain dengan merujuk kepada Kitabullah, As-Sunnah serta atsar dari sahabat. Demikian.

Wallahu a’lamu bish-shawab.




Untuk pertanyaan, saran dan kritikan yang berkaitan dengan homepage ini, silakan hubungi alhujjah@anshorussunnah.cjb.net


UJUB

Sifat Ujub
Salah seorang ulama salaf pernah berkata: “Seorang yang ujub akan tertimpa dua kehinaan, akan terbongkar kesalahan-kesalahannya dan akan jatuh martabatnya di mata manusia.”

Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang yang terkena penyakit ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena saking ujubnya terhadap diri sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya, maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjatuhkan martabatnya.”

Defenisi Ujub

Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang remeh dosa-dosa yang dilakukannya dan mengang-gapnya bagai angin lalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits: “Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan. Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)

Bisyr Al-Hafi mendefenisikan ujub sebagai berikut: “Yaitu menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang remeh amalan orang lain.”

Barangkali gejala paling dominan yang tampak pada orang yang terkena penyakit ujub adalah sikap suka melanggar hak dan menyepelekan orang lain.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah meringkas defenisi ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya itu lebih wara’ dari perkara haram dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya!”

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan salah satu dari tiga perkara ini: ujub terhadap diri sendiri, menganggap amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia berkata: “Saya tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan. Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang rusak karena penyakit ujub? Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:

“Siapakah yang lancang bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR. Muslim)

Amal shalih itu ibarat sinar dan cahaya yang terkadang padam bila dihembus angin ujub!

Sebab-Sebab Ujub

1. Faktor Lingkungan dan Keturunan

Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap diri suci dll.

2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan

Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, seba-gaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits. Sering kita temui sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Masalah ini akan kami bahas lebih lanjut pada bab berikut.

3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.

Tidak syak lagi bahwa setiap orang akan melatahi tingkah laku temannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bersabda:

“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan seseorang.

4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba, tetapi ia lupa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberinya nikmat itu. Sehingga hal itu menggiringnya kepada penyakit ujub, ia membanggakan dirinya yang sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menceritakan kepada kita kisah Qarun;

“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)

5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan Belum Terbina Dengan Sempurna

Demi Allah, pada hari ini kita banyak mengeluhkan problematika ini, yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali. Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal seperti ini. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”

Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan tersingkap kebobrokannya. Mengapa!? Sebab perbuatan seperti itu berarti bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!

6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)

Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna, niscaya ia tidak akan terkena penyakit ujub. Ia pasti meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu penyakit ujub:

“Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran itu selalu hina. Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan dirinya, baik pemuda maupun orang tua.Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan selain kepala?Namun demikian, lima macam kotoranlah yang keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut mengalir air liur. Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal menjadi santapan kelak.

Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesu-dahan hidup mereka. Maka apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.

7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan

Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan si Fulan. Tidak syak lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit ujub.

Dalam sebuah kisah pada zaman kekhalifahan Umar radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia mengunjungi Baitullah Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf, tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun melapor kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar radhiyallahu ‘anhu pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!” Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara kalian berdua di hadapan hukum!”

Tidakkah engkau ketahui bahwa:

Islam telah meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi
Dan menghinakan kedudukan Abu Lahab karena syirik yang dilakukannya.

Ketika Jabalah tidak mendapatkan dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali perbuatannya itu. Wal ‘iyadzubillah

8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati

Barangkali inilah hikmahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)

9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul dari Penyakit Ujub

Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
”Sesungguhnya seluruh orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang dipakainya juga bagus?” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu) awal hadits berbunyi: “Tidak akan masuk Surga orang yang terdapat sebesar biji zarrah kesombongan dalam hatinya).

Dampak ujub

1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.

2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. Allah Subahanahu Wata’ala berfirman:

“Orang-orang yang berjihad (untuk mencari keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Al-Ankabut: 69)

3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.

Bila cobaan dan musibah datang menerpa, orang-orang yang terjangkiti penyakit ujub akan berteriak: ‘Oii teman-teman, carilah keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala , mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana yang dituturkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?
Bukankah hari kematian hari yang telah ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?

4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperla-kukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)

Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain, ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’

5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam sebuah hadits dise-butkan:

“Ketika seorang lelaki berjalan dengan mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi sampai hari Kiamat.” (HR. Al-Bukhari)

Hukuman ini dirasakannya di dunia akibat sifat ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di du-nia, yang jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni, ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.

Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan menyepelekan amal orang lain.


--------------------------------------------------------------------------------

Untuk pertanyaan, saran dan kritikan silakan hubungi dihyah@plasa.com.